Hakikat Tasawuf (1)
- Tingkat pembahasan: Lanjutan
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim
Pendahuluan
Istilah "sufi" atau "tasawuf"
tentu sangat dikenal di
kalangan kita, terlebih lagi di
kalangan masyarakat awam,
istilah ini sangat diagungkan
dan selalu diidentikkan dengan
kewalian, kezuhudan dan
kesucian jiwa. Bahkan mayoritas
orang awam beranggapan
bahwa seseorang tidak akan
bisa mencapai hakikat takwa
tanpa melalui jalan tasawuf.
Opini ini diperkuat dengan
melihat penampilan lahir yang
selalu ditampakkan oleh orang-
orang yang mengaku sebagai
ahli tasawuf, berupa pakaian
lusuh dan usang, biji- bijian
tasbih yang selalu di tangan
dan bibir yang selalu bergerak
melafazkan zikir, yang semua ini
semakin menambah keyakinan
orang-orang awam bahwasanya
merekalah orang- orang yang
benar-benar telah mencapai
derajat wali (kekasih) Allah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebelum kami membahas
tentang hakikat tasawuf yang
sebenarnya, kami ingin
mengingatkan kembali bahwa
penilaian benar atau tidaknya
suatu pemahaman bukan cuma
dilihat dari pengakuan lisan
atau penampilan lahir semata,
akan tetapi yang menjadi
barometer adalah sesuai
tidaknya pemahaman tersebut
dengan Al Quran dan As Sunnah
menurut apa yang dipahami
salafush shalih. Sebagai bukti
akan hal ini kisah khawarij,
kelompok yang pertama
menyempal dalam islam yang
diperangi oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam di bawah pimpinan Ali bin
Abi Thalib radhiallahu 'anhu
berdasarkan perintah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Padahal kalau kita melihat
pengakuan lisan dan penampilan
lahir kelompok khawarij ini maka
tidak akan ada seorang pun
yang menduga bahwa mereka
menyembunyikan penyimpangan
dan kesesatan yang besar
dalam batin mereka,
sebagaimana yang digambarkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika beliau menjelaskan
ciri-ciri kelompok khawarij ini,
beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "...Mereka
(orang-orang khawarij) selalu
mengucapkan (secara lahir)
kata-kata yang baik dan indah,
dan mereka selalu membaca Al
Quran tapi (bacaan tersebut)
tidak melampaui tenggorokan
mereka (tidak masuk ke dalam
hati mereka)..." (HSR Imam
Muslim 7 /175 - Syarh An
Nawawi, cet. Darul Qalam, dari
'Ali bin Abi Thalib rodhiallahu
'anhu). Dan dalam riwayat yang
lain beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "...Bacaan Al
Quran kalian (wahai para
sahabatku) tidak ada artinya
jika dibandingkan dengan
bacaan Al Quran mereka,
(demikian pula) shalat kalian
tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan shalat
mereka, (demikian pula) puasa
kalian tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan puasa
mereka." (HSR Imam Muslim
7 /175 - Syarh An Nawawi, cet.
Darul Qalam, dari 'Ali bin Abi
Thalib rodhiallahu 'anhu) Maka
pada hadits yang pertama
Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam menjelaskan tentang ciri-
ciri mereka yang selalu
mengucapkan kata-kata yang
baik dan indah tapi cuma di
mulut saja dan tidak masuk ke
dalam hati mereka, dan pada
hadits yang ke dua Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam
menerangkan tentang
penampilan lahir mereka yang
selalu mereka tampakkan untuk
memperdaya manusia, yaitu
kesungguhan dalam beribadah
yang bahkan sampai
kelihatannya melebihi
kesungguhan para Sahabat
radhiallahu 'anhum dalam
beribadah (karena memang
para Sahabat radhiallahu
'anhum berusaha keras untuk
menyembunyikan ibadah mereka
karena takut tertimpa riya).
Yang kemudian prinsip ini
diterapkan dengan benar oleh
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu, sahabat yang
meriwayatkan hadits di atas,
tatkala kelompok khawarij
keluar untuk memberontak
dengan satu slogan yang
mereka elu-elukan: "Tidak ada
hukum selain hukum Allah 'azza
wa jalla." Maka Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu menanggapi
slogan tersebut dengan ucapan
beliau radhiallahu 'anhu yang
sangat masyhur - yang
seharusnya kita jadikan sebagai
pedoman dalam menilai suatu
pemahaman- yaitu ucapan
beliau radhiallahu 'anhu:
" (slogan mereka itu) adalah
kalimat (yang nampaknya)
benar tetapi dimaksudkan
untuk kebatilan." Semoga Allah
'azza wa jalla merahmati Imam
Abu Muhammad Al Barbahari
yang mengikrarkan prinsip ini
dalam kitabnya Syarhus Sunnah
dengan ucapan beliau:
"Perhatikan dan cermatilah -
semoga Allah 'azza wa jalla
merahmatimu- semua orang
yang menyampaikan satu
ucapan/pemahaman di
hadapanmu, maka jangan
sekali- kali kamu terburu-buru
untuk membenarkan dan
mengikuti ucapan/pemahaman
tersebut, sampai kamu
tanyakan dan meneliti kembali:
Apakah ucapan/pemahaman
tersebut pernah disampaikan
oleh para sahabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
radhiallahu 'anhum atau pernah
disampaikan oleh ulama
Ahlusunnah? Kalau kamu dapati
ucapan/pemahaman tersebut
sesuai dengan pemahaman
mereka radhiallahu 'anhu
berpegang teguhlah kamu
dengan ucapan/pemahaman
tersebut, dan janganlah (sekali-
kali) kamu meninggalkannya dan
memilih pemahaman lain,
sehingga (akibatnya) kamu
akan terjerumus ke dalam
neraka!" (Syarhus Sunnah,
tulisan Imam Al Barbahari hal.61,
tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi).
Setelah prinsip di atas jelas,
sekarang kami akan membahas
tentang hakikat tasawuf, agar
kita bisa melihat dan menilai
dengan jelas benar atau
tidaknya ajaran tasawuf ini.
Definisi Tasawuf/Sufi Kata
"Shufi" berasal dari bahasa
Yunani "Shufiya" yang artinya:
hikmah. Ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa kata ini
merupakan penisbatan kepada
pakaian dari kain "Shuf" (kain
wol) dan pendapat ini lebih
sesuai karena pakaian wol di
zaman dulu selalu diidentikkan
dengan sifat zuhud, Ada juga
yang mengatakan bahwa
memakai pakaian wol
dimaksudkan untuk
bertasyabbuh (menyerupai)
Nabi 'Isa Al Masih 'alaihi sallam
(Lihat kitab kecil "Haqiqat Ash
Shufiyyah Fii Dhau'il Kitab was
Sunnah" (hal.13), tulisan Syaikh
DR. Muhammad bin Rabi' Al
Madkhali). Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah: "Ada
perbedaan pendapat dalam
penisbatan kata "Shufi", karena
kata ini termasuk nama yang
menunjukkan penisbatan,
seperti kata "Al Qurasyi" (yang
artinya: penisbatan kepada
suku Quraisy), dan kata "Al
Madani" (artinya: penisbatan
kepada kota Madinah) dan yang
semisalnya. Ada yang
mengatakan: "Shufi" adalah
nisbat kepada Ahlush Shuffah
(Ash Shuffah adalah semacam
teras yang bersambung dengan
mesjid Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, yang dulu
dijadikan tempat tinggal
sementara oleh beberapa orang
sahabat Muhajirin radhiallahu
'anhum yang miskin, karena
mereka tidak memiliki harta,
tempat tinggal dan keluarga di
Madinah, maka Rasullah
shallallahu 'alaihi wa sallam
mengizinkan mereka tinggal
sementara di teras tersebut
sampai mereka memiliki tempat
tinggal tetap dan penghidupan
yang cukup. Lihat kitab Taqdis
Al Asykhash tulisan Syaikh
Muhammad Ahmad Lauh 1 /34, -
pen), tapi pendapat ini (jelas)
salah, karena kalau benar
demikian maka mestinya
pengucapannya adalah:
"Shuffi" (dengan huruf fa' yang
didobel). Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada "Ash
Shaff" (barisan) yang terdepan
di hadapan Allah 'azza wa jalla,
pendapat ini pun salah, karena
kalau benar demikian maka
mestinya pengucapannya adalah
"Shaffi" (dengan harakat fathah
pada huruf "shad" dan huruf
"fa'" yang didobel. Ada juga
yang mengatakan nisbat
kepada "Ash Shafwah" (orang-
orang terpilih) dari semua
makhluk Allah 'azza wa jalla, dan
pendapat ini pun salah karena
kalau benar demikian maka
mestinya pengucapannya
adalah: "Shafawi". Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada
(seorang yang bernama) Shufah
bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin
Thabikhah, satu suku dari
bangsa Arab yang di zaman dulu
(zaman jahiliah) pernah
bertempat tinggal di dekat
Ka'bah di Mekkah, yang
kemudian orang-orang yang ahli
nusuk (ibadah) setelah mereka
dinisbatkan kepada mereka,
pendapat ini juga lemah
meskipun lafadznya sesuai jika
ditinjau dari segi penisbatan,
karena suku ini tidak populer
dan tidak dikenal oleh
kebanyakan orang-orang ahli
ibadah, dan kalau seandainya
orang-orang ahli ibadah
dinisbatkan kepada mereka
maka mestinya penisbatan ini
lebih utama di zaman para
sahabat, para tabi'in dan tabi'it
tabi'in, dan juga karena
mayoritas orang-orang yang
berbicara atas nama shufi tidak
mengenal qabilah (suku) ini dan
tidak ridha dirinya dinisbatkan
kepada suatu suku yang ada di
zaman jahiliyah yang tidak ada
eksistensinya dalam islam. Ada
juga yang mengatakan - dan
pendapat inilah yang lebih
dikenal- nisbat kepada "Ash
Shuf" (kain wol)." (Majmu'ul
Fatawa 11 /5-6). Lahirnya
Ajaran Tasawuf Tasawuf adalah
istilah yang sama sekali tidak
dikenal di zaman para sahabat
radhiallahu 'anhum bahkan tidak
dikenal di zaman tiga generasi
yang utama (generasi sahabat,
tabi'in dan tabi'it tabi'in). Ajaran
ini baru muncul sesudah zaman
tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat
Ash Shufiyyah hal. 14). Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
"Adapun lafazh "Shufiyyah",
lafazh ini tidak dikenal di
kalangan tiga generasi yang
utama. Lafazh ini baru dikenal
dan dibicarakan setelah tiga
generasi tersebut, dan telah
dinukil dari beberapa orang
imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti
Imam Ahmad bin Hambal, Abu
Sulaiman Ad Darani dan yang
lainnya, dan juga diriwayatkan
dari Sufyan Ats Tsauri
bahwasanya beliau
membicarakan lafazh ini, dan
ada juga yang meriwayatkan
dari Hasan Al Bashri." (Majmu' Al
Fatawa 11 /5). Kemudian Ibnu
Taimiyyah menjelaskan
bahwasanya ajaran ini pertama
kali muncul di kota Bashrah,
Iraq, yang dimulai dengan
timbulnya sikap berlebih-
lebihan dalam zuhud dan ibadah
yang tidak terdapat di kota-
kota (islam) lainnya. (Majmu' Al
Fatawa 11 /6). Berkata Imam
Ibnu Al Jauzi: "Tasawuf adalah
suatu aliran yang lahirnya
diawali dengan sifat zuhud
secara keseluruhan, kemudian
orang-orang yang menisbatkan
diri kepada aliran ini mulai
mencari kelonggaran dengan
mendengarkan nyanyian dan
melakukan tari-tarian, sehingga
orang-orang awam yang
cenderung kepada akhirat
tertarik kepada mereka karena
mereka menampakkan sifat
zuhud, dan orang-orang yang
cinta dunia pun tertarik kepada
mereka karena melihat gaya
hidup yang suka bersenang-
senang dan bermain pada diri
mereka." (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha'imah
dalam kitabnya Ash Shufiyyah
Mu'taqadan Wa Maslakan (hal.
17): "Dan jelas sekali besarnya
pengaruh gaya hidup
kependetaan Nasrani -yang
mereka selalu memakai pakaian
wol ketika mereka berada di
dalam biara-biara- pada orang-
orang yang memusatkan diri
pada kegiatan ajaran tasawuf
ini di seluruh penjuru dunia,
padahal Islam telah
membebaskan dunia ini dengan
tauhid, yang mana gaya hidup
ini dan lainnya memberikan
suatu pengaruh yang sangat
jelas pada tingkah laku para
pendahulu ahli tasawuf." (Dinukil
oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
dalam kitabnya "Haqiqat At
Tashawuf" hal. 13). Dan berkata
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam
kitab beliau At Tashawuf, Al
Mansya' wa Al Mashdar hal. 28:
"Ketika kita mengamati lebih
dalam ajaran- ajaran tasawuf
yang dulu maupun yang
sekarang dan ucapan-ucapan
mereka, yang dinukil dan
diriwayatkan dalam kitab-kitab
tasawuf yang dulu maupun
sekarang, kita akan melihat
suatu perbedaan yang sangat
jelas antara ajaran tersebut
dengan ajaran Al Quran dan As
Sunnah. Dan sama sekali tidak
pernah kita dapati bibit dan
cikal bakal ajaran tasawuf ini
dalam perjalanan sejarah Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau
radhiallahu 'anhum yang mulia,
orang-orang yang terbaik dan
pilihan dari hamba-hamba Allah
'azza wa jalla, bahkan justru
sebaliknya kita dapati ajaran
tasawuf ini diambil dan dipungut
dari kependetaan model
Nasrani, dari kebrahmanaan
model agama Hindu, peribadatan
model Yahudi dan kezuhudan
model agama Budha." (Dinukil
oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
dalam kitabnya "Haqiqat At
Tashawuf" hal. 14). Dari
keterangan yang kami nukilkan
di atas, jelaslah bahwa tasawuf
adalah ajaran yang menyusup
ke dalam Islam, hal ini terlihat
jelas pada amalan- amalan yang
dilakukan oleh orang-orang ahli
tasawuf, amalan-amalan asing
dan jauh dari petunjuk islam.
Dan yang kami maksudkan di
sini adalah orang-orang ahli
tasawuf zaman sekarang, yang
banyak melakukan kesesatan
dan kebohongan dalam agama,
adapun ahli tasawuf yang
terdahulu keadaan mereka
masih lumayan, seperti Fudhail
bin 'Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin
Adham dan lain-lain. (Lihat kitab
Haqiqat At Tashawwuf tulisan
Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15).
-Bersambung insya Allah-
Sumber: muslim.or.id