Hakikat Tasawuf (2) -
Tingkat pembahasan: Lanjutan
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim
Prinsip-Prinsip Dasar
Ajaran Tasawuf yang
Menyimpang dari Petunjuk
Al Quran dan As Sunnah
(*) Ringkasan dari satu
pembahasan yang ditulis oleh
Syaikh Shalih Al Fauzan dalam
kitabnya "Haqiqat At
Tashawwuf", pembahasan:
Mauqif Ash Shufiyyah Min Al
'Ibadah wa Ad Din (hal. 17-38)
dengan sedikit perubahan.
Orang-orang ahli tasawuf -
khususnya yang ada di zaman
sekarang- mempunyai prinsip
dasar dan metode khusus dalam
memahami dan menjalankan
agama ini, yang sangat
bertentangan dengan prinsip
dan metode Ahlusunnah wal
Jamaah, dan menyimpang
sangat jauh dari Al Quran dan
As Sunnah. Mereka membangun
keyakinan dan tata cara
peribadatan mereka di atas
simbol-simbol dan istilah-istilah
yang mereka ciptakan sendiri,
yang dapat kita simpulkan
sebagai berikut:
Pertama, mereka membatasi
ibadah hanya pada aspek
Mahabbah (kecintaan) saja dan
mengenyampingkan aspek-
aspek yang lainnya, seperti
aspek Khauf (rasa takut) dan
Raja' (harapan), sebagaimana
yang terlihat dalam ucapan
beberapa orang ahli tasawuf,
"Aku beribadah kepada Allah
'azza wa jalla bukan karena aku
mengharapkan masuk surga
dan juga bukan karena takut
masuk neraka!?" Memang benar
bahwa aspek Mahabbah adalah
landasan berdirinya ibadah,
akan tetapi ibadah itu tidak
hanya terbatas pada aspek
Mahabbah saja - sebagaimana
yang disangka oleh orang-
orang ahli tasawuf-, karena
ibadah itu memiliki banyak jenis
dan aspek yang melandasinya
selain aspek Mahabbah, seperti
aspek khauf, raja', dzull
(penghinaan diri),
khudhu' (ketundukkan), doa
dan aspek-aspek lain.
Salah seorang ulama Salaf
berkata: "Barang siapa yang
beribadah kepada Allah 'azza wa
jalla dengan kecintaan semata
maka dia adalah seorang zindiq,
dan barang siapa yang
beribadah kepada Allah dengan
pengharapan semata maka dia
adalah seorang Murji'ah, dan
barang siapa yang beribadah
kepada Allah 'azza wa jalla
dengan ketakutan semata
maka dia adalah seorang
Haruriyyah (Khawarij), dan
barang siapa yang beribadah
kepada Allah 'azza wa jalla
dengan kecintaan, ketakutan
dan pengharapan maka dialah
seorang mukmin sejati dan
muwahhid (orang yang
bertauhid dengan benar)." Oleh
karena itu Allah 'azza wa jalla
memuji sifat para Nabi dan
Rasul- Nya, yang mereka
senantiasa berdoa kepada-Nya
dengan perasaan takut dan
berharap, dan mereka adalah
orang-orang yang selalu
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah: "Kebanyakan orang-
orang yang menyimpang (dari
jalan Allah), orang-orang yang
mengikuti ajaran-ajaran bid'ah
berupa sikap zuhud dan ibadah-
ibadah yang tidak dilandasi ilmu
dan tidak sesuai dengan
petunjuk dari Al Quran dan As
Sunnah, mereka terjerumus ke
dalam kesesatan seperti yang
terjadi pada orang-orang
Nasrani yang mengaku-ngaku
mencintai Allah, yang bersamaan
dengan itu mereka menyimpang
dari syariat-Nya dan enggan
untuk bermujahadah
(bersungguh-sungguh) dalam
menjalankan agama-Nya, dan
penyimpangan-penyimpangan
lainnya." (Kitab Al 'Ubudiyyah,
tulisan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul
Ifta', Riyadh).
Dari uraian di atas jelaslah
bahwa membatasi ibadah hanya
pada aspek Mahabbah saja
tidaklah disebut ibadah, bahkan
ajaran ini bisa menjerumuskan
penganutnya ke jurang
kesesatan bahkan
menyebabkan dia keluar dari
agama islam.
Kedua, orang-orang ahli
tasawuf umumnya dalam
menjalankan agama dan
melaksanakan ibadah tidak
berpedoman kepada Al Quran
dan As Sunnah, tapi yang
mereka jadikan pedoman adalah
bisikan jiwa dan perasaan
mereka dan ajaran yang
digariskan oleh pimpinan-
pimpinan mereka, berupa
thariqat-thariqat bid'ah,
berbagai macam zikir dan wirid
yang mereka ciptakan sendiri,
dan tidak jarang mereka
mengambil pedoman dari cerita-
cerita (yang tidak jelas
kebenarannya), mimpi-mimpi,
bahkan hadits-hadits yang
palsu untuk membenarkan
ajaran dan keyakinan mereka.
Inilah landasan ibadah dan
keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, "Orang-orang ahli
Tasawuf dalam beragama dan
mendekatkan diri kepada Allah
'azza wa jalla berpegang teguh
pada suatu pedoman seperti
pedoman yang dipegang oleh
orang-orang Nasrani, yaitu
ucapan-ucapan yang tidak jelas
maknanya, dan cerita-cerita
yang bersumber dari orang
yang tidak dikenal
kejujurannya, kalaupun
ternyata orang tersebut jujur,
tetap saja dia bukan seorang
(Nabi/Rasul) yang terjaga dari
kesalahan, maka (demikian pula
yang dilakukan orang-orang ahli
Tasawuf) mereka menjadikan
para pemimpin dan guru mereka
sebagai penentu/pembuat
syariat agama bagi mereka,
sebagaimana orang-orang
Nasrani menjadikan para
pendeta dan rahib mereka
sebagai penentu/pembuat
syariat agama bagi mereka."
Ketiga, termasuk doktrin ajaran
Tasawuf adalah keharusan
berpegang teguh dan menetapi
zikir-zikir dan wirid-wirid yang
ditentukan dan diciptakan oleh
guru-guru thariqat mereka,
yang kemudian mereka
menetapi dan mencukupkan diri
dengan zikir-zikir tersebut,
beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah 'azza wa jalla
dengan selalu membacanya,
bahkan tidak jarang mereka
mengklaim bahwa membaca
zikir-zikir tersebut lebih utama
daripada membaca Al Quran,
dan mereka menamakannya
dengan "zikirnya orang-orang
khusus."
Adapun zikir-zikir yang
tercantum dalam Al Quran dan
As Sunnah mereka namakan
dengan "zikirnya orang-orang
umum", maka kalimat (Laa Ilaha
Illallah) menurut mereka adalah
"zikirnya orang-orang umum",
adapun "zikirnya orang-orang
khusus" adalah kata tunggal
"Allah" dan "zikirnya orang-
orang khusus yang lebih
khusus" adalah kata (Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: "Barang siapa yang
menyangka bahwa kalimat (Laa
Ilaha Illallah) adalah zikirnya
orang-orang umum, dan
zikirnya orang-orang khusus
adalah kata tunggal "Allah",
serta zikirnya orang-orang
khusus yang lebih khusus
adalah kata ganti (Huwa/Dia),
maka dia adalah orang yang
sesat dan menyesatkan. Di
antara mereka ada yang
berdalil untuk membenarkan hal
ini, dengan firman Allah 'azza wa
jalla:
ﻗُﻞِﺍﻟﻠّﻪُﺛُﻢَّﺫَﺭْﻫُﻢْﻓِﻲﺧَﻮْﺿِﻬِﻢْ
ﻳَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ
"Katakan: Allah (yang
menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan
Al Quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-
main dalam kesesatannya." (QS.
Al An'aam: 91)
(Berdalil dengan cara seperti
ini) adalah kesalahan yang
paling nyata yang dilakukan
oleh orang-orang ahli Tasawuf,
bahkan ini termasuk
menyelewengkan ayat Al Quran
dari maknanya yang
sebenarnya, karena
sesungguhnya kata "Allah"
dalam ayat ini disebutkan dalam
kalimat perintah untuk
menjawab pertanyaan
sebelumnya, yaitu yang Allah
'azza wa jalla dalam firman-Nya:
ﻭَﻣَﺎﻗَﺪَﺭُﻭﺍْﺍﻟﻠّﻪَﺣَﻖَّﻗَﺪْﺭِﻩِﺇِﺫْ
ﻗَﺎﻟُﻮﺍْﻣَﺎﺃَﻧﺰَﻝَﺍﻟﻠّﻪُﻋَﻠَﻰﺑَﺸَﺮٍﻣِّﻦ
ﺷَﻲْﺀٍﻗُﻞْﻣَﻦْﺃَﻧﺰَﻝَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَﺍﻟَّﺬِﻱ
ﺟَﺎﺀﺑِﻪِﻣُﻮﺳَﻰﻧُﻮﺭﺍًﻭَﻫُﺪًﻯﻟِّﻠﻨَّﺎﺱِ
ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﻧَﻪُﻗَﺮَﺍﻃِﻴﺲَﺗُﺒْﺪُﻭﻧَﻬَﺎ
ﻭَﺗُﺨْﻔُﻮﻥَﻛَﺜِﻴﺮﺍًﻭَﻋُﻠِّﻤْﺘُﻢﻣَّﺎﻟَﻢْ
ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﺍْﺃَﻧﺘُﻢْﻭَﻻَﺁﺑَﺎﺅُﻛُﻢْﻗُﻞِﺍﻟﻠّﻪُ
"Katakanlah: Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat)
yang dibawa oleh Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi
manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang
terpisah-pisah, kamu
perlihatkan (sebagiannya) dan
kamu sembunyikan sebagian
besarnya, padahal telah
diajarkan kepadamu apa yang
kamu dan bapak-bapakmu tidak
mengetahuinya? Katakanlah:
Allah (yang menurunkannya)
." (QS. Al An'aam: 91)
Jadi maknanya yang benar
adalah: "Katakanlah: Allah, Dialah
yang menurunkan kitab
(Taurat) yang dibawa oleh Nabi
Musa shallallahu 'alaihi wa
sallam." (Kitab Al 'Ubudiyyah hal.
117).
Keempat, sikap Ghuluw
(berlebih- lebihan/ekstrem)
orang-orang ahli Tasawuf
terhadap orang- orang yang
mereka anggap wali dan guru-
guru thariqat mereka, yang
bertentangan dengan aqidah
Ahlusunnah wal Jamaah, karena
di antara prinsip aqidah
Ahlusunnah wal Jamaah adalah
berwala (mencintai/berloyalitas)
kepada orang-orang yang
dicintai Allah 'azza wa jalla dan
membenci musuh-musuh Allah
'azza wa jalla. Allah 'azza wa
jalla berfirman:
ﺇِﻧَّﻤَﺎﻭَﻟِﻴُّﻜُﻢُﺍﻟﻠّﻪُﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﺁﻣَﻨُﻮﺍْﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﻳُﻘِﻴﻤُﻮﻥَ
ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَﻭَﻳُﺆْﺗُﻮﻥَﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَﻭَﻫُﻢْ
ﺭَﺍﻛِﻌُﻮﻥَ
"Sesungguhnya wali (kekasih/
penolongmu) hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada
Allah)." (QS. Al Maaidah: 55)
Dan Allah 'azza wa jalla
berfirman:
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﺁﻣَﻨُﻮﺍﻟَﺎﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ
ﻋَﺪُﻭِّﻱﻭَﻋَﺪُﻭَّﻛُﻢْﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀﺗُﻠْﻘُﻮﻥَ
ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢﺑِﺎﻟْﻤَﻮَﺩَّﺓِ
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia." (QS. Al
Mumtahanah: 1)
Wali (kekasih) Allah 'azza wa
jalla adalah orang-orang yang
beriman dan bertakwa, yang
mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah
'azza wa jalla). Dan merupakan
kewajiban kita untuk mencintai,
menghormati dan meneladani
mereka. Dan perlu ditegaskan di
sini bahwa derajat kewalian itu
tidak hanya dikhususkan pada
orang-orang tertentu, bahkan
setiap orang yang beriman dan
bertakwa dia adalah wali
(kekasih) Allah 'azza wa jalla,
akan tetapi kedudukan sebagai
wali Allah 'azza wa jalla tidaklah
menjadikan seseorang terjaga
dari kesalahan dan kekhilafan.
Inilah makna wali dan kewalian,
dan kewajiban kita terhadap
mereka, menurut pemahaman
Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut
orang-orang ahli Tasawuf
sangat berbeda dengan
pemahaman Ahlusunnah wal
Jama'ah, karena orang-orang
ahli Tasawuf memiliki beberapa
kriteria dan pertimbangan
tertentu (yang bertentangan
dengan petunjuk Al Quran dan
As Sunnah) dalam masalah ini,
sehingga mereka menobatkan
derajat kewalian hanya kepada
orang-orang tertentu tanpa
dilandasi dalil dari syariat yang
menunjukkan kewalian orang-
orang tersebut. Bahkan tidak
jarang mereka menobatkan
derajat kewalian kepada orang
yang tidak dikenal keimanan
dan ketakwaannya, bahkan
kepada orang yang dikenal
punya penyimpangan dalam
keimanannya, seperti orang
yang melakukan praktek
perdukunan, sihir dan
menghalalkan apa yang
diharamkan oleh Allah 'azza wa
jalla. Dan terkadang mereka
menganggap bahwa kedudukan
orang-orang yang mereka
anggap sebagai "wali" melebihi
kedudukan para Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana
ucapan salah seorang dari
mereka:
Kedudukan para Nabi di alam
Barzakh
Sedikit di atas
Seterusnya
Sumber: muslim.or.id